Senin, 01 November 2010

:: Kekuatan Supranatural Dalam Tinjauan Syariah
Admin  15 April 2008
1). Bagaimana dengan seorang manusia yang oleh sebagian besar masyarakat telah mengenalnya sebagai seorang Ustadz yang memiliki kekuatan supranatural, yang katanya “kelebihan” ini suda ada tanda-tandanya saat masih bayi. Kelebihannya itu seperti mampu mengobati orang stress dengan cara membantu membukakan “nur”nya, mampu melihat makhluk-makhluk ghaib dan sering bermimpi yang sering pula mimpi ini menjadi kenyataan. Apakah betul manusia seperti ini seakan-akan diberi ilham / hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala pada jaman sekarang?
2). Jika kita khawatir apabila orang sakit jiwa disebabkan oleh sesuatu yang ghaib lantas kita mencoba mengobatinya kepada seseorang yang mempunyai kemampuan supranatural. Apakah dugaan ini boleh dibenarkan dan bagaimana dengan bentuk usahanya ini, apakah diperbolehkan dalam Islam?
3). Saya mohon penjelasan tentang ruh, seperti ruh yang gentayangan yang kadang menampakkan dirinya. Apakah ruh gentayangan ini dapat mengganggu manusia seperti membuatnya jadi sakit, meninggal atau gila? Dan mengapa sampai ruh tersebut gentanyangan di dunia. Juga tentang perbuatan manusia seperti main jelangkung. Apa hukumnya?
(Chairul Rasyid)
JAWAB:
Perlu saudara penanya ketahui bahwa penilaian sebagian besar masyarakat itu tidak bisa dijadikan dasar penilaian bahwa suatu perkara itu benar atau salah. Apalagi dalam perkara yang sesungguhnya adalah perkara ghaib (tidak bisa dicapai kepastiannya oleh akal atau panca indera). Karena pendapat sebagian besar masyarakat itu cenderung salah dan sesat. Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:
“Dan kalau kamu mentaati mayoritas / kebanyakan orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya mereka itu hanya mengikuti dugaan belaka dan mereka itu hanya mengira-ngira.” ( Al-An`am : 116)
Adapun apa yang dikatakan dengan kekuatan supranatural (kekuatan ghaib) yang ada pada seorang Ustadz, apalagi dikatakan bahwa “kelebihan” tampak sejak dia lahir, semua itu perlu kepastian ilmiah dan tidak cukup hanya dengan berita dari keumuman masyarakat. Sedangkan kepastian ilmiah dalam perkar gaib hanya bisa dicapai melalui dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an dan al-hadits. Sedangkan kekuatan gaib itu dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits hanya ada dua macam:
a). Kekuatan gaib dari Allah Ta'ala. Kekuatan ini hanya diberikan kepada para wali-wali Allah atau para kekasih-Nya. Kekuatan yang demikian ini dinamakan karamah. Kekuatan gaib dalam bentuk karamah ini diberikan oleh Allah kepada para kekasih-Nya dalam saat-saat tertentu yang dikehendaki-Nya, bahkan kadang-kadang para wali Allah itu tidak menyadari adanya karamah pada dirinya. Karena memang kekuatan gaib yang muncul dalam bentuk berbagai keanehan di luar rencananya, tetapi semata-semata dalam rencana dan kehendak Allah Ta'ala.
b). Kekuatan gaib dari setan. Kekuatan gaib ini hanya pada orang-orang yang berbuat kemaksiatan, kebid'ahan dan kemusyrikan. Orang-orang yang mempunyai kekuatan demikian, dengan rencana dan keinginannya terus-menerus menampakkan berbagai keanehan itu untuk menipu manusia.
(lihat lebih lanjut uraian lengkap masalah ini dalam kitab Al-Furqan Baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'is Syaithan , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Juga dalam Majmu' Fatawa beliau jilid 11 hal. 156 – 310)
Adapun kemampuan mengobati orang yang stress, ini tidak memerlukan kekuatan batin. Tetapi keahlian dan pengalaman, ketekunan serta kesabaran sebagai kemampuan utama untuk membantu upaya penyembuhan orang yang stress. Sedangkan kesembuhan itu datangnya dari Allah Ta'ala semata. Upaya penyembuhan itu adalah perkara yang diperintahkan oleh agama. Hanya saja upaya penyembuhan itu haruslah dilakukan oleh orang yang telah terbukti mempunyai kemampuan untuk itu. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia di mana saja menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obat penawarnya. Oleh karena itu berobatlah kalian.” (HR. Ahmad dalam Musnad nya jilid 3 hal. 156 dari Anas bin Malik radliyallahu `anhu . Al-Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan: “Sanad hadits ini baik.” (Lihat kitab beliau Ghayatul Maram hadits ke 292)
Dalam sabdanya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berobat sebagai upaya mendapatkan kesembuhan dari Allah Ta`ala.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam juga bersabda:
“Apabila amanah telah ditelantarkan, maka tunggu saja datangnya hari kiamat.” Ditanyakan kepada beliau: “Bagaimanakah amanah itu ditelantarkan?” beliau menjawab: “Apabila diserahkannya suatu perkara bukan kepada ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul `Ilmi bab kedua, dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu ).
Dalam sabdanya di hadits ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memperingatkan bahwa segala sesuatu itu bila diserahkan kepada yang bukan ahlinya, akan menjadi malapetaka bagi umat ini. Termasuk pula dalam perkara pengobatan terhadap orang yang stress atau penyakit lainnya. Dan keahlian untuk mengobati orang sakit itu didapatkan melalui belajar tentangnya, tidaklah melalui kejadian tiba-tiba kemudian menjadi ahli. Sangat dikhawatirkan, keahlian yang demikian ini didapatkan melalui jalan yang tidak syar'i (yakni tidak sesuai dengan tuntunan syari'ah). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Ilmu itu dicapai hanyalah dengan belajar dan sikap tidak tergesa-gesa dalam segala perkara itu didapatkan dengan berlatih untuk bersikap demikian. Dan barangsiapa selalu mencari kebaikan, dia akan diberi kebaikan. Dan barangsiapa yang selalu menjaga diri dari kejelekan, dia akan dilindungi daripadanya.' (HR. Ibnu Asakir Tarikh nya dan Ad-Daruquthni dalam Al-Afrad nya dari Abu Hurairah dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh nya dari Abi Darda'. Demikianlah dinukil hadits ini dan diterangkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami'ul Kabir ( Jam'ul Jawami' ) jilid 2 hal. 419 hadits ke 6363. Juga dinukil oleh Al-`Allamah Ala'uddin Al-Muttaqi bin Hasanuddin Al-Hindi dalam Kanzul Ummal jilid 10 hal. 239 hadits ke 29266) dalam
Al-Hindi juga membawakan riwayat At-Thabrani dari Muawiyah bin Abi Sufyan dengan lafadh:
“Wahai sekalian manusia, ilmu itu dicapai hanyalah dengan belajar. Dan fiqih (pengertian) itu hanya bisa dicapai dengan belajar fiqih. Dan barangsiapa yang Allah inginkan kebaikannya, Allah jadikan dia mengerti tentang agama-Nya. Dan yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah mereka yang berilmu agama.” ( Kanzul Ummal jilid 10 hal. 239 hadits 29265)
Dari hadits-hadits ini ditegaskan kepada kita bahwa ilmu itu didapat melalui proses belajar dan bukan dengan pemberian ilmu yang tiba-tiba secara ghaib. Jadi kalau ada Ustadz yang diberitakan atau mengaku dapat ilmu mengobati orang sakit atau ilmu-ilmu lainnya tanpa proses belajar sebagaimana mestinya, maka anda harus waspada kepadanya, bisa jadi ilmunya itu dari para setan dari kalangan jin dan yang demikian ini jelas dilarang keras oleh agama. Dan berobat kepada orang yang demikian ini haram dan bila mempercayai berita-berita dia yang ghaib, amalan ibadahnya tidak diterima oleh Allah selama empat puluh hari. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam :
“Barangsiapa mendatangi orang yang dianggap punya ilmu ghaib kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang gaib kemudian membenarkannya, tidak akan diterima shalatnya empat puluh hari.” (HR. Muslim dalam Kitab Shahih nya)
'Arraf yang disebut di hadits ini menurut keterangan Ibnul Atsir dalam kitab beliau An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar jilid 3 hal. 218 menerangkan: “ `Arraf yang disebut di hadits ini adalah tukang nujum yang mengaku punya ilmu ghaib.”
Jadi Ustadz yang diberitakan kebanyakan orang punya ilmu ghaib atau bahkan mengaku demikian itu sangat dikhawatirkan termasuk ' arraf yang akan merusak nilai ibadah kita.
Adapun tentang orang yang sakit jiwa, dia mestinya diobati dengan dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an padanya, serta berusaha pula membawanya ke dokter ahli jiwa untuk mendapatkan pengobatan yang cukup. Ini adalah dalam rangka menyerahkan urusan tersebut kepada ahlinya.
Kemudian, berkenaan dengan apa yang disebut sebagai ruh yang gentayangan yang kadang menampakkan dirinya, sesungguhnya makhluk yang berbuat demikian ini adalah para jin jahat yang juga dinamakan setan.
Makhluk tersebut terus-menerus menakut-nakuti manusia dengan berbagai penampilan dan tingkah laku. Allah Ta'ala memperingatkan:
“Hanyalah setan itu menakut-nakuti kalian agar kalian takut kepada para kaki tangannya. Maka dari itu, janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah hanya kepada-Ku kalau kalian memang benar-benar sebagai orang-orang yang beriman.” ( Ali Imran : 175)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan bahwa jin itu bisa menyerupakan diri dalam bentuk orang yang sudah mati sehingga orang-orang yang tidak mengerti akan menyangka bahwa si mati itu datang lagi. Ini dilakukan oleh setan itu adalah dalam rangka mempermainkan orang-orang yang bodoh dengan berbagai kedustaan. Padahal orang yang telah mati, ruh dan jasadnya tidak akan kembali ke dunia selama-lamanya. (Lihat Daqaiqut Tafsir juz 3 hal. 135 – 146)
Tentang apakah jin jahat itu bisa mengganggu manusia sehingga membuatnya sakit, gila, atau bahkan membunuhnya, semua itu bisa terjadi dengan ijin Allah Ta'ala. Cara jin mengganggu manusia sehingga berakibat sakit, gila atau membunuhnya ialah antara lain dengan dua cara:
1). Jin jahat itu menyelinap pada tubuh manusia sehingga orang itu pun kesurupan. Dalam keadaan tidak sadarkan diri seperti itu, orang yang kesurupan itu menceburkan dirinya ke sumur dan menyebabkan kematiannya. Demikian antara lain cara jin jahat mengganggu atau membunuh manusia. Dengan cara ini pula jin jahat menyakiti atau menjadi sebab orang rusak akalnya sampai gila. Yang demikian itu telah terjadi di masa Rasulullah masih hidup sebagaimana diceritakan dalam riwayat berikut:
Dari Ya'la bin Murrah Ats-Tsaqafi, dia menceritakan bahwa seorang wanita datang menghadap Nabi shallallahu `alaihi wa sallam . Dia datang dengan membawa anaknya yang masih kecil dan terkena penyakit gila karena kesurupan. Maka Nabi menyatakan kepada anak kecil itu: “Keluarlah engkau musuh Allah! (Wahai jin yang ada pada anak ini), aku ini adalah utusan Allah.” Berkata Al-Manhal: Maka sembuhlah anak itu dari penyakit gilanya sehingga dia menghadiahkan kepada Nabi dua ekor kambing kibas dan sepotong susu kering dan samin. Berkata Ya'la: Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan: “Ambil susu kering dan saminnya, ambil pula seekor kambingnya dan kembalikan kepadanya seekor yang lainnya.” (HR. Ahmad dalam Musnad nya jilid 4 hal. 171)

Riwayat yang semacam ini terdapat pula dalam Sunan Ibnu Majah jilid 2 hal. 1174 hadits ke 3548 dari Utsman bin Abil `Ash.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “Jin itu merasuki tubuh manusia karena tiga sebab:
a). Karena jin itu senang dengan orang tersebut sehingga masuk pada tubuh orang itu untuk bersenang-senang dengannya. Yang demikian ini paling ringan akibatnya dan paling mudah mengatasinya.
b). Karena manusia mengganggu jin itu ketika buang air kecil (kencing) mengenai mereka, atau karena menyiramkan air panas yang mengenai mereka pula, atau membunuh sebagian dari mereka, atau yang lain-lain dari bentuk-bentuk gangguan manusia kepada jin. Kesurupan yang demikian ini paling berat, dan banyak orang yang kesurupan dengan sebab ini terbunuh karenanya.
c). karena jin yang iseng (main-main dan tidak ada sebab apa-apa) sebagaimana anak manusia yang kurang akal mempermainkan orang yang dalam perjalanan jauh.” ( Daqaiqut Tafsir juz 3 hal. 137)
Dengan kenyataan demikian maka kita harus pandai-pandai melindungi diri dari gangguan jin dan satu-satunya perlindungan bagi kita adalah dzikrullah serta wirid-wirid pagi dan petang sebagaimana yang diajarkan Nabi kita.
2). Jin jahat menyerupakan dirinya sebagaimana binatang buas seperti ular dan sejenisnya. Yang demikian ini telah diberitakan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam sabda beliau berikut ini:
“Sesungguhnya rumah-rumah penduduk ini ada juga penghuninya dari kalangan jin. Maka bila kalian melihat daripadanya dalam bentuk ular, maka beri peringatan tiga kali. Maka bila dia pergi dengan peringatan itu, biarkanlah dia. Tetapi bila tidak pergi, maka bunuhlah dia, karena dia itu jin kafir.” (HR. Muslim dalam Shahih nya Kitabul Hayawan bab Qatlul Hayyat wa Ghairiha dari Abi Said Al-Khudri hadits no. 5801)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: Berkata para ulama: Maknanya ialah bahwa bila ular itu tidak pergi setelah diperingatkan tiga kali, kalian mendapatkan kepastian bahwa ia bukanlah jin penghuni rumahmu dan bukan jin Islam, bahkan ia adalah setan. Maka tidak ada halangan apa-apa bagi kalian dari agama. Oleh karena itu bunuhlah ia. Dan Allah tidak akan memberi peluang baginya untuk membalas kalian. Beda dengan keadaan jin penghuni rumah dan jin yang telah masuk Islam bila diperlakukan demikian. Wallahu a`lam .” ( Syarah Shahih Muslim juz 14 hal. 454).
Demikianlah dua cara jin jahat mengganggu manusia, yaitu dengan menyelinap pada tubuh manusia itu dan yang kedua dengan menyerupakan dirinya sebagai ular dan binatang berbahaya lainnya. Dan kita telah mendapatkan bimbingan dari agama untuk menghadapi kedua model gangguan jin jahat itu.
Adapun hukum bermain jelangkung yaitu menghadirkan jin dengan cara tertentu dan kemudian menanyainya berbagai masalah, maka yang demikian ini amat berbahaya bagi diri anda. Karena jin yang anda tanyai dalam apa yang dinamakan jelangkung itu tidak bisa dipastikan secara ilmiah apakah dia sebagai jin yang pantas dipercaya atau bukan. Dan anda bisa jadi diberi kabar dusta dan menyesatkan. Maka tinggalkan permainan yang mengandung resiko kesesatan dan kedustaan itu. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menasehati kita:
Adalah keindahan Islam seseorang ialah bila dia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi dalam Sunan nya)

Al Ustadz Ja'far Umar Thalib

Jumat, 01 Oktober 2010

Urgensi Menuntut Ilmu

Berikut Nasihat bagi kita, khususnya muslimah mengenai kebutuhan kita akan menuntut ilmu. Disalin dari Majalah As Sunnah Edisi 04 Tahun VI tahun 2002M/1423H.






Risalah untuk Saudariku Terkasih
Tentang Urgensi Menuntut Ilmu
Wahai ukhti muslimat?..Kembali, saya kemukakan nasehat yang utama bagi kalian. Yakni tentang perlunya semangat dalam menuntut ilmu dan tafaqquh fid-din. Mengingat ketidaksungguhan kalian dalam belajar. Bahkan saya melihat sebagian dari kalian berpaling dari menuntut ilmu. Dan ini merupakan satu keprihatinan tersendiri dalam benak saya. Oleh karena itu, Insya Allah saya akan menjelaskan dan menguraikan urgensi tholibul ilmi dari dalil-dalal Al-Qur`an, disertai ta`liq sederhana tentangnya.
Ukhti muslimah yang dirahmati-Nya, Allah Azza Wa Jalla telah banyak memaparkan pentingnya menuntut ilmu dalam deretan firman-Nya yang mengagumkan:

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran:18).
Berkata Imam Al Qurtubi Rahimahumullhu dalam tafsirnya, “Ayat ini adalah dalil tentang keutaman ilmu dan kemuliaan ulama. Seandainya ada orang yang lebih mulia dari ulama, sungguh Allah Azza Wa Jalla akan menyertakan nama-Nya dan nama malaikat-Nya. Allah Azza Wa Jalla berfirman juga kepada Nabi-Nya n tentang kemuliaan ilmu.”

“Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thaahaa:114)
Maka seandainya ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu, sungguh Allah Azza Wa Jalla akan memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan akan sesuatu itu, sebagaimana Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan Nabi -Nya untuk meminta tambahan ilmu.

“Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui” (QS. az-Zumar : 9)
Imam Al Qurtubi berkata, “Menurut Az-Zujaj, maksud ayat tersebut yaitu orang yang tahu berbeda dengan orang yang tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama dengan orang bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat mengambil manfaat dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak mengambil manfaat dari ilmu serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam barisan orang yang tidak mengetahui”

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang- orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”(Q.S al-Mujaadilah: 11)
Imam Al Qurtubi berkata, “Maksud ayat di atas yaitu, dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia, Allah Azza Wa Jalla akan meninggikan orang beriman dan berilmu di atas orang yang tidak berilmu. Kata Ibnu Mas`ud, dalam ayat ini Allah Azza Wa Jalla memuji para ulama. Dan makna bahwa Allah Azza Wa Jalla akan meninggikan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat, adalah derajat dalam hal agama, apabila mereka melakukan perintah- perintah Allah Azza Wa Jalla”

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya, hanyalah ulama.” (QS.al- Faathir: 28)
Ibnu Katsir berkata, “Maksud ayat di atas adalah, orang yang takut kepada Allah Azza Wa Jalla dengan benar hanyalah ulama yang mengenal-Nya, karena semakin mengenal Allah Azza Wa Jalla Yang Maha Agung, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Mengetahui,Yang memiliki sifat kesempurnaan dan kebaikan, maka pengenalan, pengetahuan, dan ketakutan terhadap-Nya akan semakin sempurna.”

“Sesungguhnya al-Quran adalah ayat-ayat yang nyata dalam dada orang- orang yang diberi. Dan tidak mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang- orang yang dholim.” (QS. al-Ankabut: 49).
Ibnul Qoyyim berkata tentang ayat di atas, “Allah Azza Wa Jalla menyanjung ahli ilmu, memuji dan memuliakan mereka dengan menjadikan kitab-Nya sebagai ayat-ayat yang nyata/ jelas dalam dada mereka. Ini merupakan kekhususan dan kebaikan bagi mereka dan tidak bagi yang lainnya.”
Dan kata Imam Al Qurtubi , “Maksud ayat tersebut adalah, Al Qur`an bukanlah sihir atau syair, seperti yang dikatakan oleh orang-orang batil. Akan tetapi Al Qur`an adalah tanda dan dalil Allah . Dalam Al Qur`an agama dan segala hukum-Nya dapat diketahui. Seperti itulah al-Qur`an di dalam dada-dada orang yang diberi ilmu. Mereka adalah para sahabat Muhammad. Dan orang-orang yang beriman kepadanya. Mereka berilmu, mampu memahami dan membedakan antara kalamullah, perkataan manusia dan ucapan-ucapan setan.”

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu`min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(QS. At- Taubah: 122)
Imam Al-Qurtubi berkata, “Ayat ini merupakan pokok tentang wajibnya menuntut ilmu. Karena tidak seharusnya orang mukmin itu pergi ke medan perang semua, padahal Nabi tidak, sehingga mereka meninggalkan beliau sendiri. Mereka membatalkan keinginan mereka, setelah mengetahui tidak dibolehkannya pergi secara keseluruhan. Beberapa orang dari tiap-tiap golongan, agar tetap tinggal bersama Nabi untuk mempelajari agama. Sehingga apabila orang- orang yang berperang itu telah kembali, mereka bisa mengabarkan dan meyebarkan pengetahuan ilmu mereka. Dalam ayat ini juga terdapat kewajiban untuk memahami Al Kitab dan Sunnah. Dan kewajiban tersebut adalah kewajiban kifayah bukan wajib `ain”

Dan katakanlah:”Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS. Thaahaa:114)
Berkata Ibnu `Uyainah, “Rasulullah senantiasa bertambah ilmunya sampai Allah Azza Wa Jalla mewafatkan beliau” Berkata Ibnul Qayyim, “Dengan hal ini cukuplah merupakan kemuliaan bagi ilmu, yaitu bahwa Allah Azza Wa Jalla memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan berupa ilmu”

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-An`am: 83)
Imam Al Qurtubi berkata, “Firman Allah Azza Wa Jalla, Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat yaitu dengan ilmu, kepahaman dan imamah (kepemimpinan) serta kekuasaan”

“Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah Azza Wa Jalla sangat besar atasmu.” (QS. An Nisaa` :113)
Berkata Ibnul Qoyyim tentang ayat di atas, “Allah Azza Wa Jalla menyebutkan kenikmatan-kenikmatan dan karunia-Nya kepada Rasul dan Allah Azza Wa Jalla menjadikan kenikmatan dan karunia-Nya yang paling agung adalah memberinya Al Kitab dan hikmah serta mengajarkan kepadanya apa yang belum diketahuinya.”
Demikianlah Ukhti Muslimah, Semoga pemaparan saya kali ini bermanfaat bagi ukhti semuanya. Harapan saya semoga kita masih mendapat kesempatan untuk meniti ilmu-Nya yang maha luas. Amin

Dari Majalah As Sunnah Edisi 04 Tahun VI tahun 2002M/1423H

Diantara Yang termasuk Dalil Wajibnya Menuntut Ilmu Syar'i

Di dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 disebutkan:
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian.”
As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya halaman 846 berkata: “Di dalam ayat ini terdapat keutamaan ilmu syar’i, dan buah dari ilmu itu adalah beradab dan beramal atas dasar ilmu tersebut.”
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi:
Artinya: ”Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya Al-Qur’an al Azhim, Juz IV, hal 324, mengatakan bahwa Allah SWT dalam ayat ini mendidik kaum muslimin agar bersikap baik satu sama lain di dalam majlis. Janganlah satu sama lain mempersempit tempat duduk, sehingga seolah-olah yang satu menghalangi keberadaan dan kehadiran yang lain dalam majlis.
Surat Al-Mujadalah:11 menerangkan tentang etika (sopan santun) bila berada dalam suatu majlis dan kedudukan orang yang beriman, serta orang yang berilmu pengetahuan.
Dalam buku pembelajaran Al-Quran Hadits (2007:5)dan Tafsir Al-Mishbah Volume 14 (2002:11), dijelaskan bahwa Surat Al-Mujadalah ini turun pada hari jum’at. Ketika itu Rasul berada di satu tempat yang sempit (Shuffah) dan menjadi kebiasaan bagi beliau memberikan tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung datanglah beberapa orang sahabat yang mengikuti perang Badr. Kemudian datang pula yang lainnya. Mereka yang baru datang memberi salam, dan Rasulpun serta sahabat menjawab salam tersebut. Tapi mereka yang telah datang lebih dahulu (yang sudah duduk) tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya, sehingga mereka yang baru datang berdiri terus. Maka Nabi SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi SAW. Perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini yang digunakan oleh kaum munafik untuk memecah belah dengan berkata : ”Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: ”Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi sandaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di ataspun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu. Hal ini juga diperjelas dalam Asbabun nuzul (2001:549
Dalam hadits shahih juga ditegaskan:
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah mendapat kebaikan, maka Allah jadikan paham agama ini.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqolani rahimahullah dalam Fathul Bari juz 1 halaman 222 menjelaskan : “Dari hadits ini dapat dipahami, bahwa orang-orang yang tidak paham agama dan dasar-dasarnya, ia tidak akan mendapat kebaikan sedikitpun”.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memahami hal ini, untuk itu mereka gigih dan bersemangat untuk mempelajari ilmu syar’i dan mengamalkannya dengan baik dan benar, mereka punya prinsip yang mantap dan mengagumkan, yakni Berilmu Sebelum Berkata dan Beramal, untuk menggapai kemuliaan.
Rasulullah Saw., bersabda:


  • "Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam" (Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)
    Hadis tersebut  terdapat dalam beberapa kitab hadis berikut ini:

    • Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 98, karya Imam Ibnu Majah Al-QazwiniQazwini, Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah), Sunan Ibnu Majah, Beirut : Dar al-Fikr, juz I..
    • Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyah, halaman 93, karya Sayid Ahmad Al-Hasyimi.
    • Al-Jami'ush Shaghir, Juz I, halaman 194, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
    • As-Sirajul Munir, Juz II, halaman 416, karya Syekh Ali Al-Azizi.
    • At-Targhib wat-Tarhib, Juz I, halaman 96, karya Al-Hafizh Al-Mundziri
    •  
     Dalam kitab-kitab hadis yang telah kami kemukakan di atas tidak terdapat tambahan lafaz wa muslimatin setelah lafaz 'ala kulli muslimin.

    Bahkan dalam kitab-kitab Tasawuf dan Irsyad pun yang menyitir hadis tersebut antara lain:

    • Ihya Ulumuddin, Juz I, halaman 9, karya besar Imam Hujjatul Islam Al-Ghazali
    • Tanbihul Ghafilin, halaman 115, karya Imam As-Samarqandi
    • Irsyadul 'Ibad, halaman 7, karya Syekh Zainuddin Al-Malibari

    tidak diteemukan tambahan wa muslimatin sebagaimana sering terdengar dari khotbah para mubalig dan para khatib. Mereka selalu menambahkan lafaz wa muslimatin yang artinya "menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan."

    Dalam kitab Ta'limul Muta'allim karya Syekh Az-Zarnuji, halaman 4, termaktub hadis Nabi itu sebagai berikut:

    "Rasulullah Saw. bersabda: Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah."
    Seorang ulama ahli hadis dari Madinah, Imam Abdul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi, ketika mengomentari Hadis Riwayat Imam Ibnu Majah dan lain-lain dari Anas bin Malik tersebut dalam kitabnya Hasyiyah Sunan Ibnu Majah menyebutkan:

    "Sabda Nabi Saw. atas setiap muslim, artinya orang muslim yang telah akil balig, untuk mengecualikan orang muslim yang belum akil balig, yaitu anak kecil dan orang gila; dan yang dimaksud dengan kata-kata 'muslim' dalam hadis itu ialah orang (yang beragama Islam), maka mencakup kepada laki-laki dan perempuan." (Kitab Hasyiyah Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 98-99)
    Selanjutnya pada juz I, halaman 99 dalam kitab tersebut beliau mengutip ucapan seorang kritikus hadis Imam As-Sakhawi:

    "Imam As-Sakhawi dalam kitabnya Al-Maqashid berkata: Ada sebagian pengarang kitab yang menambahkan lafaz "Wamuslimatin" di akhir hadis ini, padahal tidak terdapat dalam beberapa thariq (jalan) riwayat hadis, sekalipun benar kalau ditinjau dari segi makna."
    Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa lafaz wamuslimatin dalam hadis itu bukanlah ucapan Nabi Saw., melainkan hanya tambahan dari pengarang kitab.
    Jadi menuntut ilmu itu hukumnya wajib, berdasarkan Hadis Nabi Saw. diatas yang berarti: "Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam yang akil balig, baik laki-laki maupun perempuan."

  • As-Sayid 'Alawi bin Ahmad As-Saqaf telah berfatwa:

    "Dan ketahuilah wahai saudaraku, bahwa yang paling wajib dan utama dalam masalah yang difardhukan ialah ilmu, dan yang paling besar dosanya dalam masalah pelanggaran yang diharamkan ialah kebodohan, dan kebodohan yang paling sesat ialah berbuat bodoh terhadap Allah, yaitu kufur" (Illajul Amradlir Radiyyah, halaman 9)
    Berdasarkan firman Allah dan sabda Nabi serta fatwa ulama tersebut, jelaslah bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib. Berdosalah umat Islam yang tidak mau menuntut ilmu.



    "Imam Syafii (Rahimahullahu Ta'ala) berkata, "Barang siapa yang tidak cinta terhadap ilmu, maka tidak ada kebaikan padanya; dan janganlah di antara kamu dengannya terjalin hubungan intim dan tidak perlu kenal dengannya, sebab orang yang tidak mau belajar ilmu, tentu ia tidak akan mengetahui cara-cara beribadah dan tidak akan melaksanakan ibadah sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Seandainya ada seseorang yang beribadah kepada Allah Swt. seperti ibadahnya para malaikat di langit, tetapi tanpa dilandasi dengan ilmu, maka ia termasuk orang-orang yang merugi." (Dikutip dari kitab 'Ilajul Amradlir Radiyyah, hamisy kitab 'Fawaidul Makkiyyah', halaman 14-15)